Simple One

Sometimes all the complicated things begin from the simple one. From a simple hello turned into romantic visions. We may be wondering about everything: How did it all really begin? And why? We don’t understand and never will. Just that’s how the universe works.

We make mistakes. People make mistakes. Everyone make mistakes.

Kita semua membuat kesalahan. Dari membuat kopi terlalu hambar kita belajar bahwa airnya mungkin terlalu banyak. Dari tersesat karena belok kanan berarti kita tahu belok kiri seharusnya jadi pilihan. Dari lidah tergigit ketika makan berarti kita kita paham bahwa tergesa-gesa tak selalu bijak.

Pertanyaannya adalah, apakah kita belajar dari kesalahan tersebut?

Dan yang paling penting lagi adalah, apakah kita bahkan menyadari ataupun menganggap bahwa itu adalah sebuah kesalahan?

Ada tiga penyesalan terbesar dalam hidup saya sejauh ini:

  1. Mengutamakan ego daripada logika
  2. Mementingkan diri sendiri daripada orang lain
  3. Mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri

Nomor 2 dan 3 sekilas terlihat kontradiksi, tapi pada dasarnya dua hal tersebut adalah hal yang sangat berbeda.

Dari 3 penyesalan diatas, terkadang saya bertanya-tanya: bagaimana jika pada saat itu saya tidak mengambil keputusan dalam keadaan marah? Bagaimana jika pada saat itu saya menyadari suatu hal dan berhenti menganggap bahwa hal tersebut tidak ada? Bagaimana jika pada saat itu saya mengamini apa yang orang lain inginkan alih-alih bersikeras untuk memilih apa yang saya inginkan?

Saya tidak akan tahu jawabannya, karena pada dasarnya jalan yang saya ambil adalah hal kontra dari pertanyaan tersebut. Ada satu pertanyaan yang tidak jarang menghantui pikiran saya.

Apa yang akan dilakukan jika memiliki kesempatan lagi?

Pertanyaan ini terjadi saat termenung 30 menit sebelum pertemuan baru ini, di hamparan jalanan yang basah terguyur hujan deras, seperti sebuah pertanda ekologi.

Just let the universe work.


The Night We Meet

We talk about everything, we feel connected because we have the same habits. I looked at her as she spoke. She looks good. And smart. And hard worker. And cute. And independent. And beautiful. And okay—i have to stop.

I am so grateful to be able to hear so I know the sound and tone. We talked about everything: tentang Nietzsche, tentang Stoikisme, tentang sajak, tentang tulisan, tentang hal-hal kecil yang sering seringkali tidak dipahami kebanyakan orang.

Kadang terlalu lama menatap matanya—mata yang seolah menyimpan banyak cerita. Ada perasaan yang tidak mudah dituliskan. Hangat dan menenangkan seperti rumah. Kedua mata itu sanggup membuat seorang berandalan yang gelisah menjadi setenang orang sembahyang.

Everything must be happens for a reason, right? I think that night was one of those rare moments when the universe whispered,

Two persons, meet at the right time, in a simple way, but it feels like enough.

Melihat tangannya yang sedikit menggigil karena udara malam yang dingin, keinginan untuk menggenggamnya datang kuat begitu tiba-tiba, seperti sesuatu yang sangat alami ada rasa hangat yang ingin diberi. Banyak keinginan yang harus saya tahan karena merasa tidak pantas.

Di antara lampu jalan pulang yang redup dan suara gerimis yang tersisa di atap toko,
kita seperti dua tokoh dalam sajak yang tidak tahu apakah mereka akan berakhir bersama atau hanya sekadar satu adegan indah di tengah cerita.

Dan saat akhirnya kita berdiri di persimpangan, tempat di mana langkah harus mulai memisah, tidak ada pelukan, tidak ada genggaman tangan, hanya sepasang mata yang saling memahami: bahwa ini indah. Bahwa ini cukup.

Langkah kecilnya saat turun dari motor, seperti tarian yang tak sengaja indah. Ada sesuatu yang lucu dari gerakannya, seperti dunia yang mendukungnya untuk tetap melangkah, untuk tetap ada di sana, di malam yang penuh dengan hal-hal kecil ini. Dan suara tawanya—suara yang ringan, yang seolah bisa menghapus segala penat dunia.

Ada hal-hal lain yang sulit dijelaskan, Seperti kenapa malam itu terasa berbeda. Seperti kenapa saya pulang dengan perasaan yang hangat… padahal hujan baru saja berhenti dengan penutup embun yang sangat indah malam itu.

And maybe,
just maybe—that was the beginning of something I didn’t know I was waiting for.


A Silent Wish

Saya titipkan pahatan renjana untuk nona melalui gema buana yang luas, seluas saya memberikan rangkaian tinta aksara untuk doa.
Malam itu hanya satu,
tapi ada jejaknya menetap seperti guratan embun di kaca itu—
tak kentara tapi ada, namun saya tidak tau siapa yang paling tertulis.
Saya belum sempat mengungkap semuanya,
tentang rasa yang tumbuh perlahan,
seperti benih yang diam-diam berakar di tanah yang basah. Kadang saya bertanya pada langit malam, apakah pertemuan singkat cukup untuk membuat seseorang menetap dalam ingatan?
Apakah sepasang mata yang saling menatap bisa menyampaikan rindu
tanpa harus mengucapkan satu pun kata? Saya tidak tahu jawabannya.
Yang saya tahu hanya hal yang ingin saya mengulang
bukan karena belum puas,
tapi karena terlalu indah untuk dibiarkan berlalu begitu saja.
Saya ingin mengenalmu lebih jauh,
bukan untuk memiliki saja,
tapi untuk mengerti bagaimana semesta bisa mencipta seseorang sepertimu:
lembut, hangat, dan penuh cerita. Jika semesta berbaik hati,
mungkin kita akan bertemu lagi,
saya akan tetap bersyukur pernah menulis namamu
dalam ruang sunyi yang penuh harap.