Pendahuluan

Hari dimulai dengan membakar rokok sialan yang setiap hari memaksa untuk dibakar. Cuaca hari ini benar-benar buruk, hujan turun dengan angin yang sangat kencang. Gue berdiri menghadap sapuan angin yang melewati hujan. Notifikasi ponsel berdering dengan informasi kerugian dompet cryptocurrency gue pagi ini.

Seandainya ini tidak terjadi, mungkin gue sudah pergi menikmati waktu liburan di luar dan mengerjakan beberapa pekerjaan sisa pada hari ini. Hendak mengumpat kepada semesta, tetapi tidak jadi melakukannya.


Alih-alih hanya diam, gue pergi menyeduh secangkir kopi panas, mengambil buku favorit, kemudian duduk membaca dan menikmati suara hujan pagi ini. Tetapi kemudian gue mendengar suara tetesan air yang terdengar keras di belakang. Atap yang berlubang menciptakan celah untuk air masuk ke dalam ruangan, dan itu tepat di atas meja komputer.

Sambil mencari sesuatu untuk menampungnya, gue berpikir, “Bagaimana kalau gue benar-benar pergi menikmati waktu di luar kosan, air akan mengenai komputer dan membuatnya rusak. Gue bersyukur tidak melakukannya.”

Kembali melanjutkan bacaan sekitar 15 menit. Setelah selesai, hujan juga ikut mereda. Gue membuka ponsel untuk memanggil tukang memperbaiki atap kos yang bocor. Tetapi sialnya, gue disambut pesan beruntun dari teman yang memberikan tautan orang lain yang menghina cara kepemimpinan gue di organisasi kampus. Gue membukanya, dan seketika merasa kesal, karenanya menulis kalimat panjang sebagai balasan di laman komentar. Tetapi, ketika hendak menekan tombol kirim, gue teringat alasan pertama membuka ponsel.

Gue menghapusnya, keluar dari tautan tanpa meninggalkan jejak apa-apa, kemudian segera mengirimkan pesan kepada tukang memintanya untuk datang memperbaiki atap bocor di kamar kos.

Itu bagus, gue tidak akan menorehkan satu lagi jejak buruk digital yang akan disesali kemudian hari.


Gue kemudian mandi dan berniat membeli makan pagi, menyadari bahwa gue kekurangan bahan makanan. Gue segera pergi bergegas menuju swalayan untuk beli makanan instan. Kabar buruknya, di perjalanan pulang dari swalayan gue melihat orang yang masih gue cintai bersama lelaki yang tidak gue kenal, walaupun sudah beberapa bulan setelah putusnya hubungan kami.

Gue ingin mengumpat, tetapi mereka sudah pergi dan ada beberapa anak kecil di sekitar. Mereka bisa mendengar dan meniru. Gue tidak jadi melakukannya.

Hari ini gue pikir banyak kesialan. Gue segera menyalakan komputer dan berniat bermain DoTa 2 untuk menyejukkan pikiran. Tetapi kemudian gue berpikir; jika melakukannya, maka ada kemungkinan gue akan terus bermain game dan lupa waktu. Pekerjaan akan terhambat dan membuat tekanan semakin berat.

Gue tidak jadi melakukannya. Gue lantas menutup Steam dan mulai bekerja.

Dengan menghisap rokok dalam-dalam, sangat dalam. Lalu menghembuskannya perlahan sambil berdalih menutupi tarikan napas panjang yang biasanya menggambarkan beratnya realita yang dihadapi.


Dikotomi Kendali

Gue yakin banyak cerita yang mirip dengan fragmen di atas ketika sedang berbicara Stoik, dan itu adalah tulisan lama gue.

Stoikisme telah gue temukan sejak beberapa tahun yang lalu, dan seketika terpukau dengan sang kaisar Marcus Aurelius.

Aliran ini benar-benar tampak sempurna di mata gue. Prinsip seperti aproptosia, anelenxia, aneikaiotes, amataiotes, view from above, premeditatio malorum, amor fati, dan prinsip-prinsip dasar Stoik lainnya benar-benar meracuni otak gue.

Apa yang tidak gue pahami adalah fakta bahwa gue bukan orang yang cerdas. Gue tidak mampu menafsirkan segala hal dengan benar. Termasuk Stoikisme ini.

Dikotomi kendali, misalnya. Alih-alih memaknainya sebagai sebuah cara pandang untuk mengendalikan diri sendiri, gue malah memaknainya sebagai cara lain untuk bersikap apatis dan ignoran terhadap segala hal.

Gue juga menulis daftar untuk memastikan dikotomi kendali tetap berjalan dengan baik. Omong-omong, ini dia sebagian kecil fundamental-nya:

Hal yang bisa dikendalikan:

  1. Pikiranmu
  2. Tindakanmu
  3. Perkataanmu

Hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan:

  1. Perkataan orang lain
  2. Perasaan orang lain
  3. Apa yang orang lain pikirkan

Ledakan Emosi dan Dampaknya

Stoikisme tiba-tiba berubah menjadi Solipsisme. Gue seketika berubah menjadi manusia paling bajingan di seantero alam semesta. Analoginya.

Efek jangka panjang dari ignoransi berkedok dikotomi kendali ini sendiri jauh lebih mengerikan.

Gue kolaps.

Semua emosi yang selama bertahun-tahun gue pendam atas nama pengendalian diri, segala kenegatifan yang gue telan diam-diam tanpa sedikit pun memiliki jalur pengeluaran, setiap masalah yang gue abaikan karena merasa itu bukan masalah; pada akhirnya meledak.

Gue marah tanpa bisa dikendalikan, ada kekacauan dalam diri yang tidak bisa gue netralkan. Ironis sekali, daftar pertama pada hal yang harus gue kendalikan justru menjadi hal yang mulai mengendalikan gue.


Meskipun kejadian pada diri adalah kesalahan gue sendiri atas penafsiran yang tidak tepat, tetapi pada akhirnya gue menemukan satu kekurangan Stoikisme: dia tidak tercipta untuk gue.

Stoikisme memang tidak memiliki kekurangan dalam ide-idenya. Dia sempurna, tanpa cela. Namun, terlalu sempurna untuk manusia yang tidak akan bisa sempurna.

Kita melupakan bahwa manusia penuh luka, bisa mengalami trauma, dan tidak semuanya memiliki isi kepala.


Kompleksitas Manusia

Stoikisme tidak bisa diterapkan secara universal, sebab ia mengabaikan hakikat dasar manusia sebagai makhluk yang memiliki kepekaan rasa (homo recent), yang kadang-kadang, kepekaan rasa ini bertindak lebih cepat sebelum otak memikirkan apa-apa.

Manusia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan dunia di luar dirinya, sebab di sanalah mereka hidup. Kita terbentuk dari hubungan antar diri dan objek internal, that’s what makes us us.

Meskipun para Stoik berdalih bahwa Stoikisme tidak sepenuhnya menolak adanya emosi, tetapi mereka cenderung menyebut mengekspresikan emosi adalah tindakan bodoh dan menyakiti diri sendiri. Utamanya adalah marah.

Welp, it does.

Akan tetapi, apakah semua orang bisa tetap tidak marah? Apakah marah memang selalu berakibat negatif? Bagaimana jika kemarahan bisa memberi efek jera yang menyadarkan orang yang kita marahi bahwa ia telah berbuat kesalahan dan mau berubah menjadi lebih baik?

Artinya, relasi antarmanusia—emosinya—subjek lain itu terlalu kompleks. Adalah tindakan ceroboh jika mengasumsikan suatu tindakan hanya bisa berakhir pada satu kondisi.

Pada akhirnya, gue hanya bisa mengatakan kepada para Stoik: manusia tidak hanya terpusat pada isi kepala. Kita punya hormon, alam bawah sadar, dan perasaan yang kadang-kadang memengaruhi tindakan kita.

Kesimpulan: Mengapa Stoikisme Tidak Selalu Cocok

Hanya ada dua yang utama. Pertama, cenderung disalah tafsirkan. Apalagi hanya dibaca sepotong-sepotong dari kutipan para Stoik di internet. Kedua, tidak praktis. Sulit sekali diterapkan.

Tidak semua orang bisa lepas dari PTSD, tidak semua orang bisa lepas dari perasaan-perasaannya.

Tapi sekali lagi, bukan berarti sikap Stoik itu salah, hanya saja di mata sebagian orang terkesan “berlebihan” atau kurang fleksibel.

Stoikisme ini kalau tidak dipelajari secara menyeluruh—idealnya dengan tanya jawab ke Zeno dari Kition, yang ada dalam eksekusinya akan sangat dekat dengan Machiavellianisme. In a nutshell, seorang Machiavellian sejati tidak peduli—bahkan sinis, pada moralitas. Berbuat saja, dan tidak peduli dengan pendapat orang lain. Tak peduli kalau yang kita lakukan bisa menyakiti orang lain. Ketika diminta akuntabilitas, dalihnya adalah: “Itu tidak bisa saya kontrol.”

Apakah Gue Akan Tetap Menjadi Seorang Stoik?

Beberapa doktor dan profesor filsafat menghabiskan seperempat atau tak jarang juga hingga separuh hidupnya, untuk mempelajari tiap ajaran filsafat yang baik. Dan kebanyakan dari mereka pun ketika gue tanyai mengenai Stoikisme, mereka mengaku bahwa mereka juga masih dalam proses belajar.

Wer rastet, der rostet.