Jam menunjukan 01:11 AM, adalah Kamis, yang bertepatan pada tanggal 6 Februari 2025. Gue sedang berdiri menatap langit malam sambil menghabiskan rokok sialan yang selalu memaksa untuk ingin dibakar setiap harinya.

Hari kemarin cepat berlalu meskipun satu hari selalu setara dengan 24 jam sampai kapan pun itu.

Gue memikirkan apa yang telah terjadi hari kemarin.

Karena hari kemarin merupakan bagian dari masa lalu.

Pikiran gue berpergian berandai-andai ke 20 tahun ke depan alias ketika gue berumur 42 tahun. Gue berpikir, “Bagaimana kalau gue sakit-sakitan dan memiliki penyakit paru-paru?” atau “Bagaimana kalau gue punya penyakit ginjal?” Besar kemungkinan yang gue salahkan adalah diri gue sendiri yang masih muda menjadi pencandu rokok dan kopi berat.

Selain itu, gue berpikiran seperti, “Bagaimana jika nanti gue tinggal dengan orang yang saat ini gue impikan?” Besar kemungkinan gue akan berterima kasih kepada diri gue karena telah berjuang untuk hasil yang bisa gue rasakan saat itu.

Diri gue 20 tahun ke depan ditentukan oleh diri gue hari ini—nyatanya pasti begitu.

Gue membakar batang kedua sambil lanjut mengetik tulisan ini.

Setiap orang memiliki banyak masalah di hidupnya, namun beragam. Dua masalah yang paling laku gue rasa adalah karir dan hubungan asmara.

Brengseknya masalah tersebut selalu berkaitan dengan masa lalu.

Masa lalu bukan berarti mengikuti kita ke mana pun pergi, melainkan nyatanya ia tidak ke mana-mana. Ia selalu berada di tempat yang sama.

Menjadi bagian dari kita.

Sampai kapan pun.

Gue menghisap rokok dalam-dalam, sangat dalam. Lalu menghembuskannya perlahan sambil berdalih menutupi tarikan nafas panjang yang biasanya menggambarkan beratnya realita yang dihadapi.

Kabar buruknya, masa lalu ada bukan untuk disesali. Tapi jadi bagian pembelajaran dari dalam diri kita untuk tindakan ke depannya, dan itu sangat sulit.

Jarum jam terus berjalan, udara malam semakin dingin, dan apa yang sudah terjadi, sudah terjadi.

Jangankan memutar ulang waktu, memberhentikannya saja adalah hal yang mustahil dilakukan.

Lalu gue membakar batang rokok kedua, dengan banyak berusaha melihat sudut pandang baru.

Lagi-lagi menghisapnya sangat dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

Waktu menunjukkan 01:39 AM, sudah 28 menit terlewat dari aktivitas gue menatap langit. Jika seandainya 28 menit tersebut gue gunakan untuk melanjutkan pekerjaan, gue rasa gue bisa menyelesaikan satu validasi terkait operasi UNION yang sedang gue kembangkan sekarang.

Tapi sekali lagi, kita tidak bisa memutar ulang waktu.

Apa yang sudah terjadi, sudah terjadi.

Dan alih-alih menyesali 28 menit yang sudah berlalu tersebut, gue memilih untuk melanjutkan tulisan ini sampai menerbitkannya sehingga mungkin gue bisa kembali melanjutkan pekerjaan besok sambil menunggu diri gue mengantuk agar bisa merasa bahwa 28 menit tersebut tidak terbuang sia-sia.

Proses memilih tersebut tingkat kesulitannya bersifat relatif, namun di banyak kasus, tingkat kesulitannya mendekati sulit.

Dan jalan keluarnya gue rasa cuma satu: berdamai dengan hal itu, dan ini bagian paling beratnya.

Karena melupakan dan menghiraukan bukanlah jalan keluar utama, melainkan jalan lain yang bisa dianggap jalan pintas yang mana tidak menyelesaikan masalah utama.

Gue membakar batang rokok ketiga gue.

Dan lagi-lagi menghisapnya sangat dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

Berdamai—atau mengikhlaskan apa yang sudah terjadi—bukanlah hal yang mudah, dan juga tidak ada yang bilang bahwa itu adalah hal yang mudah.

Namun terkadang, waktu berperan besar dalam membantu kita untuk melakukan hal itu. Tidak jarang dibantu dengan kejadian-kejadian lain juga yang membuat diri kita terus belajar dan berkembang.

Ada waktunya untuk bisa berdamai dengan hal itu, dan ini tinggal menunggu waktunya.

Namun satu hal yang harus gue soroti adalah untuk bisa menghindari melakukan kesalahan besar di masa yang akan datang, khususnya untuk kesalahan yang sama.

Karena masa lalu seperti pisau bermata dua.

Ia bisa membantu diri kita di masa sekarang dan masa depan namun di lain sisi bisa juga menghancurkan diri kita di masa sekarang dan masa depan.

So, do your best for your past, I guess?

Gue membakar batang rokok keempat gue.

Kali ini gue menghisapnya biasa aja dan menghembuskannya secara biasa aja. Hanya menikmati perasaan menenangkan berkat nikotin yang meskipun akan menjadi penyakit pada diri gue nanti jika gue tidak berhenti melakukan ini.

Gue melihat jam, waktu menunjukkan 01:44 AM kali ini.

Gue tidak tahu apa yang akan terjadi setelah gue bangun tidur nanti, tapi gue memiliki rencana sekalipun mungkin rencana gue hanyalah bekerja. Lalu gue mematikan lampu kamar, menutup jendela, dan menyalakan air purifier untuk membantu mengurangi bekas bau asap rokok.

Gue rasa esok hari akan terasa lebih berat dari biasanya.

Lalu gue menutup laptop.

Dan menutup hari dengan beranjak tidur.

We—as human beings—definitely have a past, a fucking past.

But we also have a future, right?

So, stop getting down and let’s fuck up the future.

Masih ada masa depan yang menunggu untuk bisa kita rusak yang pada akhirnya akan menjadi masa lalu kita pada suatu saat nanti.

Just kidding, unless?